Curhat #4 Tentang Tak Ingin Jauh Dari Rumah
Beberapa hal memang ada yang harus
ditanggapi tapi ada beberapa hal yang justru nggak usah dan nggak perlu ditanggapi
walaupun sebenarnya kita gateeel banget pengen nanggapinnya.
Beberapa hari lalu, ada mbak rekan
sekantor yang nyuruh saya ngelamar pekerjaan di sebuah perusahaan BUMN. Seleksinya
seluruh Indonesia. Dan saya menolaknya. Saya bilang saya nggak mau ngelamar
pekerjaan yang saya tahu nanti penempatannya akan jauh-jauh dari kota tempat
tinggal saya sekarang. Dan Beliau mencibir omongan saya dengan argumen yang dia
miliki. Mungkin didalam hatinya saya udah dicap penakut, manja dan nggak
mandiri karena nggak mau jauh dari rumah tapi saya pun juga punya alasan
tersendiri.
Singkat cerita, omongan tempo hari
itu masih dibawa-bawa sampai sekarang dengan beliau itu.
Saya memang sudah kekurangan minat
mau melamar pekerjaan yang saya tahu bahwa penempatannya bakal jauh dari rumah.
Walaupun belum tentu lulus sih, tapi saya nggak mau melakukan hal yang saya
tahu bahwa itu akan sulit kedepannya bagi saya. Saya nggak mau melamar
pekerjaan yang diawal kerja saya sudah niat untuk resign. Nggak mau saya.
Bukan nggak mau melamar pekerjaan lagi, tapi sedang kekurangan minat aja. Saya bahagia dengan pekerjaan saya sekarang walaupun jobdesk yang saya punya belum jelas, gajinya kecil dan monoton. Tapi toh saya ikhlas dan saya masih punya hal lain yang menurut saya bisa membuat saya produktif.
Bukannya saya manja atau nggak
mandiri atau takut jauh dari rumah, kalau mau diingat-ingat kebelakang saya
udah hidup mandiri jauh dari rumah sejak SMA. SMA asrama dan kuliah pun saya
ngekost. Bahkan waktu masih Sekolah Dasar saya tinggal dengan nenek dan hanya
dijemput pulang kerumah dengan orang tua seminggu sekali.
Alasan sesungguhnya adalah sekarang
saya ingin menemani orang tua saya dirumah.
Orang tua saya sudah tidak muda lagi walaupun masih aktif bekerja. Tapi jujur
saya nggak tega membiarkan rumah hanya ditinggali mereka berdua. Saya ingin
menemani mereka sebelum nantinya mungkin saya akan menikah dan sudah harus mengikuti
apapun keputusan suami saya kelak, entah itu bakal tinggal jauh dari mereka
atau gimana. Tapi selama saya belum menikah dan masih bisa memutuskan sebuah
keputusan sendiri, saya memilih untuk tinggal bersama mereka.
Ayah dan Ibu saya bukanlah orang
Jambi asli. Sehingga keluarga besar kami terpencar-pencar. Jadi yang bisa
menemani mereka adalah ya anaknya sendiri. Walaupun sebenarnya tidak banyak hal
yang bisa kami lakukan, karena bertiga (saya, ayah saya dan ibu saya) punya
aktifitas masing-masing, tapi setidaknya saya bisa bertemu mereka setiap
harinya.
Saya ingin membantu mereka
membersihkan rumah, memberi pendapat untuk baju yang mereka pakai setiap hendak
pergi, mengajarkan mereka memakai smartphone, membukakan google dan youtube, membantu mereka menyelesaikan pekerjaan kantor dan hal-hal lainnya yang mungkin cuma hal-hal remeh.
Selagi saya bisa.
Sebelum tanggung jawab saya beralih
kepada suami saya kelak nantinya.
Tentu saya punya mimpi dan cita-cita. Tapi semakin kesini saya merasakan saya bisa menyederhanakan syarat bahagia saya. Saya bahagia dengan apa yang saya punya sekarang. Saya tetap bermimpi dan becita-cita tapi hanya jalannya saja yang berbeda dengan apa yang dulu saya pikirkan. Saya sederhanakan sesuai dengan kondisi saya saat ini. Toh saya tetap baik-baik aja.
Rasa-rasanya ingin sekali menjelaskan hal ini panjang lebar kepada orang-orang yang nge-judge keputusan saya. Tapi setelah dipikir-pikir, itu nggak perlu. Penjelasan saya ini nggak akan penting bagi mereka yang sukanya nge-judge keputusan orang lain. Yang penting saya ikhlas dan happy-happy aja ngejalani apa yang udah jadi keputusan saya :)
Comments
Post a Comment