indomie-bola-papa
Postingan ini saya buat, setelah saya melihat iklan indomie versi Jurnalist di TV malam ini. Bukan, bukan. Bukan membuat saya laper. Tapi iklan itu membuat saya terharu. Iklan indomie itu menceritakan ada seorang jurnalis muda, cewek. Dia sedang makan mie. Trus dia cerita, kalo dulu, ketika dia kecil, dia sering nonton bola sama ayahnya. Hanya berdua. Dan kemudian ayahnya membuat indomie rebus pakai telor dan dimakan berdua. Tapi sekarang, ketika ia dewasa, ia tidak bisa mengulanginya lagi. Ayahnya sudah tiada.
Nah, inti iklannya jelas menceritakan betapa Indomie selalu membuat kenangan-kenangan manis. Taoi bukan itu sebenarnya yang membuat saya terharu, walaupun sedikit banyak ada hubungannya dengan indomie juga. Yang bikin saya “jleb” adalah iklan itu seperti menceritakan apa yang pernah saya lakukan dengan ayah saya. Persis sama. Bedanya hanya ayah saya masih bisa saya temui hingga saat ini. Dan itu membuat saya amat sangt bersyukur.
Ya. Saya dan ayah saya dulu pernah mengalami moment-moment berdua seperti iklan itu. Menonton bola di tengah malam, dan kemudian ayah saya meminta saya untuk dibuatkan indomie pakai telor. Saya pernah meneriakkan GOL! bersama. Saya pernah menjelek-jelekan pemain sepak bola. Saya pernah menjadi orang-sok-tahu-bola bersama ayah saya. Dan jadilah malam ini saya merindukan beliau. Merindukan saat-saat itu.
Ayah, yang kesehariannya saya panggil papa itu, tahu bahwa saya suka sepak bola. Suka menonton pertandingan bola jelasnya. Dan bola seringkali membuat kami menjadi sangat dekat. Dulu, ketika takut menonton sendiri pertandingan bola tengah malam, maka saya akan menggedor kamar papa. “Paaaaaaa, nonton bola yok paa” dan ayah saya akan terbangun dan menemani saya dan biasanya minta buatin indomie
Saya tidak pernah bertemu orang hebat selain ayah saya. se-idola idolanya saya dengan seseorang, saya masih mengidolakan Papa.
Jika saya mendengar cerita teman-teman saya ketika ayah merek adulu pernah memukul mereka, mencubit mereka, membentak, dan memaki, tapi Papa tidak pernah sama sekali membentak apalagi memukul saya. Ia selalu menasihati saya dengan kalimat-kalimat tegasnya. Betapa ia tidak suka apa yang telah saya lakukan, betapa ia tidak menyukai keputusannya, tapi semua itu ia ungkapkan dengan jujur dan tegas tanpa adanya hal yang menyinggung saya.
Papa adalah orang hebat. Begitu bijak, tegas, dan tanggung jawab. Segala hal yang ada di diri Papa membuat saya bangga. Ia adalah seorang kepala keluarga yang luar biasa hebat. Papa selalu berusaha mewujudkan apa yang saya inginkan walau dalam waktu yang lama. Ia tak pernah mengatakan sesuatu yang “gombal” atau berlebihan. Ketika saya mencoba baju baru contohnya, Ibu saya menyuruh saya menunjukkan ke Papa.
“Pa, pita punyo baju baru! Bagus dak?”
(Lhat sebentar) “Ah, Bagus”
“Cantik dak pa?”
(Lihat lagi sebentar) “Yo cantik”
Dari komentar itu, kelihatannya ayah saya tidak peduli. Tapi saya tahu, itulah kenyataannya. Kenyataan bahwa saya adalah putri nya yang tercantik. Entah itu memakai baju baru atau tidak. Begitu pula ketika saya menerima rapor. Ketika SMA saya bisa dapat apa yang diimpikan setiap siswadi SMA saya saat itu. “Naik Panggung” istilahnya. Memperoleh 3 besar itu tidak mudah dan pastinya membuat bangga orang tua. Hari itu, ketika nama saya dipanggil maju ke panggung yang dihadiri oleh seluruh orang tua siswa, saya tidak melihat orang tua saya duduk disana. Ketika saya menunggu giliran saya menerima piagam, saya melihat Ibu saya datang tergopoh-gopoh sambil melambaikan tangannya ke saya. Sendirian. ayah saya tidak ada. Kata Ibu, ayah saya di menunggu di mobel. Dan ketika ibu saya bercerita atas apa yang sudah saya raih, ayah saya tersenyum dan Cuma berkata “Wah hebat. Selamat dulu lah” Sambil menyodorkan tangannya. Dan saya menyalaminya. Sudah. Hanya itu. Selama perjalanan pulang ke rumah, ayah saya tidak membicarakan apapun. Tapi saya merasakan betapa ayah saya bangga dengan apa yang sya peroleh. Jabatan ayah saya ke tangan saya erat dan kuat sekali. Seakan-akan seluruh emosinya dialirkan dari tanganya.
Saya merindukan beliau sekarang. Ayah saya memang tidak pernah menunjukkan secara gamblang perasaanya. Ayah saya tidak pernah mau menunjukkan kesusahannya di depan anak-anaknya. Walaupun saya sebenarnya tahu. Saya ingat saat-saat ayah saya terpuruk dan diharuskan menerima kenyataan dengan sangat ikhlas walaupun saya tahu itu sulit. Ketika kebaikan tidak berpihak kepada keluarga kami, kepada ayah saya. Tapi ia tidak menampakkan kesusahannya di depan saya.
Teringat masa kecilku kau peluk dan kau manja
Indahnya saat itu buatku melambung
Disisimu terngiang hangat napas segar harum tubuhmu
Kau tuturkan segala mimpi-mimpi serta harapanmu
Kau inginku menjadi yang terbaik bagimu
Patuhi perintahmu jauhkan godaan
Yang mungkin ku lakukan dalam waktu ku beranjak dewasa
Jangan sampai membuatku terbelenggu jatuh dan terinjak
Tuhan tolonglah sampaikan sejuta sayangku untuknya
Ku terus berjanji tak kan khianati pintanya
Ayah dengarlah betapa sesungguhnya ku mencintaimu
Kan ku buktikan ku mampu penuh maumu
Kau inginku menjadi yang terbaik bagimu
Patuhi perintahmu jauhkan godaan
Yang mungkin ku lakukan dalam waktu ku beranjak dewasa
Jangan sampai membuatku terbelenggu jatuh dan terinjak
Andaikan detik itu kan bergulir kembali
Ku rindukan suasana basuh jiwaku
Membahagiakan aku yang haus akan kasih dan sayangmu
Tuk wujudkan segala sesuatu yang pernah terlewati
Ya, Saya selalu ingin menjadi apa yang diinginkan oleh ayah saya. Saya sellau ingin melihat senyum bangga di wajahnya. Ketika doa-doa itu dikabulkan Tuhan, saya merasa Allah sangat sayang kepada saya hingga saat ini. Allah selalu membri kesempatan kepada saya untuk bisa melihat senyum ayah saya. Dan saat ini saya sedang berusaha mewujudkan impian beliau untuk melihat saya menajdi seorang insinyur, seorang sarjan teknik sama sepertinya.
Banyak sekali hal yang bisa saya ceritakan tentang ayah saya. Mungkin lain kali.
iku terharu ngebaco tulisan kak pita ni, jadi ingat ayah dirumah
ReplyDeleteaah silvy bisa ajaa :D
ReplyDelete